MBG: Program Gizi atau Ancaman Nyawa?

 MBG: Program Gizi atau Ancaman Nyawa? Mengkritisi Kegagalan Pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis


Program Makan Bergizi Gratis (MBG) digagas pemerintah dengan tujuan mulia: meningkatkan gizi anak bangsa, mencegah stunting, dan meringankan beban masyarakat. Di atas kertas, ini adalah langkah besar untuk memajukan generasi Indonesia. 

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan gambaran yang jauh berbeda. Ribuan anak sekolah di berbagai daerah justru mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program ini. Pertanyaan besar pun muncul: apakah pemerintah benar-benar siap melaksanakan program ini, ataukah kita sedang menyaksikan sebuah kebijakan yang dijalankan dengan tergesa-gesa dan minim pengawasan?




Fakta yang Tidak Bisa Diabaikan 

Berdasarkan laporan terbaru dari Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), jumlah siswa yang mengalami keracunan akibat MBG mencapai 6.452 anak hingga 21 September 2025. Angka ini naik 1.092 kasus hanya dalam waktu singkat dibanding laporan sebelumnya. 

“Kenaikan ini sangat tajam, dan data ini kemungkinan masih belum lengkap,” ungkap Ubaid Matraji, perwakilan JPPI.

Data resmi dari Badan Gizi Nasional (BGN) juga mengonfirmasi tingginya angka korban. Dalam periode Januari–September 2025, BGN mencatat 70 kasus keracunan yang berdampak pada 5.914 penerima MBG. Bahkan, BGN menutup 40 dapur setelah menemukan pelanggaran SOP di 45 lokasi produksi makanan. 

Angka ini berbeda sangat jauh dengan pernyataan Presiden yang sebelumnya menyebut hanya 200 anak yang keracunan, dan 5 orang yang dirawat inap dari total 3 juta penerima manfaat.



Perbedaan data ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa terjadi selisih yang begitu signifikan? Media seperti Tempo, Kompas, hingga BBC Indonesia ikut mengangkat isu ini, menandakan bahwa kasus MBG bukan sekadar masalah domestik, tetapi sudah menjadi perhatian dunia internasional.


Nyawa Anak Tidak Boleh Jadi Korban Kebijakan




Setiap kebijakan publik harus mengutamakan keselamatan rakyat, apalagi jika menyangkut anak-anak sekolah yang menjadi generasi penerus bangsa. Dalam kasus MBG, kita melihat indikasi kelalaian yang fatal. 

Ribuan anak yang seharusnya mendapatkan gizi seimbang justru berakhir di rumah sakit. Beberapa daerah bahkan melaporkan kasus massal, seperti di Sumedang, di mana 103 siswa dilarikan ke fasilitas kesehatan setelah mengonsumsi menu MBG.

Jika program ini terus berjalan tanpa perbaikan, risiko kematian tidak bisa dikesampingkan. Ini bukan sekadar masalah gizi, ini adalah masalah hak asasi manusia: setiap anak berhak mendapatkan makanan yang aman, sehat, dan bebas dari bahaya.


Pemerintah Harus Bertanggung Jawab 

Kritik terhadap MBG bukan berarti menolak programnya, tetapi menolak pelaksanaan yang sembrono. Ada beberapa poin yang perlu segera dilakukan pemerintah: 

1. Transparansi Data dan Investigasi Independen 
  • Publikasikan data korban keracunan secara terbuka, lengkap dengan daerah, penyebab, dan langkah yang diambil. 
  • Libatkan lembaga independen seperti Ombudsman, BPOM, dan LSM untuk mengawasi proses investigasi, bukan hanya laporan internal. 

2. Standar Keamanan yang Ketat 
  • Semua dapur produksi harus memenuhi standar higienis dan gizi yang jelas. 
  • Pelatihan wajib bagi semua petugas dapur dan pihak distribusi. 
  • Jika ada pelanggaran, tutup segera dapurnya, dan berikan sanksi tegas. 

3. Akuntabilitas dan Tanggung Jawab Politik 
  • Pemerintah harus mengakui kegagalan awal ini dan menunjukkan komitmen nyata untuk memperbaiki. 
  • Jika ditemukan unsur pidana atau korupsi dalam distribusi makanan, proses hukum harus dijalankan tanpa pandang bulu.


Kritik Bukan Tindakan Memusuhi 

Ada pihak yang mengatakan bahwa MBG adalah “program yang tidak boleh dikritik.” Pandangan ini berbahaya.  Dalam negara demokrasi, kritik adalah bentuk kepedulian rakyat. 

Tanpa kritik, program yang salah tidak akan pernah diperbaiki, dan rakyatlah yang terus menjadi korban. 

Mengkritik MBG bukan berarti menentang pemerintah atau presiden, tetapi menyelamatkan nyawa ribuan anak yang tak bersalah. Diam adalah pengkhianatan terhadap masa depan bangsa.


Saatnya Memilih Nyawa, Bukan Angka

Program MBG mungkin dimulai dengan niat baik, tetapi niat baik tidak cukup. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan program ini masih jauh dari kata aman. Dengan lebih dari 6.000 korban keracunan, pemerintah harus segera bertindak tegas: memperbaiki sistem, meningkatkan pengawasan, dan memastikan tidak ada lagi anak yang menjadi korban.

Karena dalam kebijakan publik, nyawa manusia tidak boleh menjadi angka statistik.



Posting Komentar

0 Komentar